Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)
Dahulu sebelum alih kelola ada seorang oknum politisi menelopon Saya. Ia menjanjikan Saya untuk menjadi kepala sekolah asal setor. Otak Saya kaget. Ini politis apa badut? Saya simpulkan ini politis kelas badut. Mengapa Saya katakan demikian? Karena politis semacam ini adalah politisi pencari nafkah dengan “membadut” di dunia yang seharusnya mengaspirasikan suara rakyat.
Satu lagi ada oknum penegak hukum. Ia ngebadut juga. Ia mengatakan, “Pak Dudung jangan terlalu banyak nulis kritis di media, nanti bapak tidak akan jadi kepala sekolah.” Makin bertambah badut di negeri ini. Plus ada satu lagi seorang birokrat pendidikan mengatakan bahwa Saya mirip LSM. Tak berkarakter pendidik dan tak mencerminkan pengurus organisasi guru. Saya berpikir, “Makin banyak badut di negeri ini”.
Saat ini di Jawa Barat lagi hangat kembali OTT seorang pejabat Disdik karena mengumpulkan setoran dari para kepala sekolah. Saya jadi ingat cerita lama saat Saya dimintai sejumlah uang untuk jadi kepala sekolah. Sungguh perbadutan ini sangat jelimet dan mengendap terlalu kuat. Pantas saja kehadiran Jokowi konon katanya sangat tidak didukung sejumlah ASN karena akan memberangus dunia perbadutan dari tradisi semua regim sebelumnya.
Bukankah Jokowi mengatakan Rp. 10 000 pun harus ditindak? Kembali pada dunia pendidikan kita yang penuh dengan perbadutan. Saat Jokowi dan Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta dunia setor pra rekrutmen kepala sekolah menjadi terminimalisir karena ada sistem lelang. Menjadi kepala sekolah harus lolos seleksi bukan lolos relasi. Jokowi dan Ahok mencontohkan bagaimana rekrutmen kepala sekolah tanpa setor. Merit dan ketat.
Gosip lama, untuk menjadi seorang kepala SMAN di sebuah kota konon katanya dahulu harus meraih kocek Rp. 250 juta? Wow. Dapat dibayangkan bagaimana selanjutnya. Bukankah uang itu harus dikembalikan pada dompet asalnya? Caranya? Ya pasti 1001 cara akan dilakukan. Rusak dunia pendidikan kita bila pimpinan satuan pendidikian diberi SK dengan jalur setor mulu. Sungguh perbadutan ini sudah lama terjadi.
Sekolah idealnya dipimpin oleh kepala sekolah hasil seleksi yang sangat ketat. Seleksi tanpa pulus, bukan hasil relasi dan suap sapi maksud Saya suapisasi. Bila seorang kepala sekolah hasil seleksi ketat, buah prestasi maka bawaan memimpin sekolahnya akan kearah prestasi. Bila jadi kepala sekolah karena setor dan kepentingan politik maka bawaannya pasti politik dan setoran mulu. Setor mulu adalah budaya buruk dalam dunia birokrasi kita.
Apresiasi pada Gubernur Baru Ridwan Kamil terkait rekrutmen kepala sekolah SMA/SMK/SLB di Jawa Barat. Sampai saat ini Saya belum mendapatkan aspirasi terkait budaya “setor mulu” dari regim RK. Visi Jabar Juara Lahir Bathin nampaknya akan terus dilecut Gubernur RK. Saya membaca rekrutmen kepala sekolah tahun 2019 di era Gubernur RK sangat ketat dan bagai masuk lubang jarum sempit.
Dapat dibayangkan akhir tahun ini dari pendaftar 997 guru SMA/SMK/SLB terbaik dan semuanya sudah jadi wakasek diterima hanya 69 orang dalam seleksi kepala sekolah. Dari 997 pendaftar diseleksi administrasi dan dinyatakan lolos menjadi 600 peserta seleksi lanjutan. Dari 600 kembali diseleksi menjadi 300 orang yang terpilih. Dari 300 terpilih kembali diseleksi menjadi 100 terbaik. Dari 100 terbaik kembali diseleksi substansi, tertulis, wawancara oleh LPPKS dari Solo. Akhirnya terpilih 69 terbaik. Sungguh sulit!
Gubernur RK dan Kadisdik Jawa Barat, Dewi Sartika nampaknya berkomitmen kuat untuk suguhkan Jabar Juara lahir bathin. Menarik sambutan Kadisdik Jawa Barat dan Sekertaris Disdik Jawa Barat yang mengatakan tentang transparansi rekrutmen kepala sekolah tahun ini. Bahkan Sekdisdik Jawa Barat Firman Adam mengatakan, “Tidak ada lagi kepala sekolah ujug-ujug”. Saya jadi berpikir kepala sekolah ujug-ujug itu apa ya? Mungkin kepala sekolah tanpa selesksi dan hasil setor mulu.
Saat ini eranya dadah atau goodbye pada segala bentuk “setor mulu”. Era merdeka belajar, era guru penggerak, era kepala sekolah merdeka. Merdeka dari segala bentuk “setor mulu” yang sangat tak sehat dalam dunia pendidikan kita. Segalanya berawal dari dunia pendidikan. Bila dunia pendidikan masih menyisakan mental “setor mulu” residu dari politik pra alih kelola maka sampai kapan dunia Indonesia akan membaik? Getir memang kisah OTT di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
Ada sekitar 514 kota kabupaten dan 34 provinsi di Indonesia, apakah bisa terbebas dari budaya “setor mulu”? Apakah dana BOS, DAK dana pendidikan lainnya bebas dari budaya “setor mulu?” Selama seorang abdi negara, menjadi PNS, menjadi kepala sekolah, menjadi pejabat pendidikan terkait budaya “setor mulu” maka selama itu pula dunia pendidikan kita hanyalah konservasi drama perbadutan. Stop dunia badut! Mari kita mulai dari kewarasan yang bisa dipertanggung jawabkan dihadapan rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa. Itu pun kalau percaya Tuhan!
0 komentar:
Posting Komentar