Budaya Belajar Sejak Dini

Jadikan Belajar merupakan Kebutuhan Hidup Bukan Kewajiban.

Budaya Belajar Sejak Dini

Jadikan Belajar merupakan Kebutuhan Hidup Bukan Kewajiban.

Budaya Belajar Sejak Dini

Jadikan Belajar merupakan Kebutuhan Hidup Bukan Kewajiban.

Budaya Belajar Sejak Dini

Jadikan Belajar merupakan Kebutuhan Hidup Bukan Kewajiban.

Budaya Belajar Sejak Dini

Jadikan Belajar merupakan Kebutuhan Hidup Bukan Kewajiban.

Rabu, 02 September 2020

Sekolah Itu Rumah Ibadah


Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Kepala SMAN1 Parungpanjang)

Surat Al-Mujadalah ayat 11 yang artinya : “Allah akan mengangkat derajat orang beriman dan yang berilmu dengan beberapa derajat.“ Hadits Nabi pun mengatakan, “Mencari Ilmu itu wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan.” Menuntut ilmu identik di lembaga pendidikan. Menuntut ilmu adalah perintah Tuhan! 

Tempat atau bangunan dimana biasa  dilakukan ritual saja disebut rumah ibadah.   Padahal rumah ibadah itu identik dengan  dominasi ritual. Nah ada satu bangunan dan tempat yang sangat multi fungsi. Tiada lain adalah  bangunan atau sekolah. Di sekolah itu ritual bisa dilaksanakan. Menuntut ilmu bisa dilakkukan. Sejumlah aktivitas ibadah pun banyak dilakukan di sekolah.

Sekolah adalah rumah ibadah yang sangat lengkap.  Bahkan di setiap sekolahan ada berbagai fasilitas, mulai dari bangunan tempat ritual sampai bangunan tempat praktek ilmu pengetahuan. Sungguh sangat strategis sebuah sekolah dalam peradaban manusia. Sekolah benar-benar mampu menjadi rumah ibadah yang sesuai tuntutan Tuhan di atas.

Sekolah adalah pusat  layanan pendidikan,  dimana iman dan ilmu dipelajari, didalami dan dipraktekan. Sekolah benar-benar mampu menjadi rumah ibadah pendidikan. Sekolah sangat sakral bahkan dibanding rumah ibadah yang hanya sebatas ritual bahkan dijadikan ajang provokasi atau kepentingan politik jamaah tertentu. 

Sekolah adalah tempat ibadah menuntut ilmu terkait pentingnya menjungjung tinggi harkat martabat manusia. Pentingnya toleransi dan penghargaan pada keberbedaan SARA. Pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pentingnya berkarakter dengan menguatkan integritas dan dedikasi pada bangsa dan negara. Bukan hanya pada sekte atau aliran tertentu.

Dunia tanpa sekolah akan binasa. Mengapa? Karena kebudayaan manusia identik dibentuk diantaranya sangat efektif melalui sekolahan.  Bersekolah pun seseorang bisa melakukan kejahatan. Apalagi bila tidak sekolah.  Bersekolah intinya adalah belajar dan meningkatkan kemanusiaan diri.  Bersekolah adalah beribadah pada Tuhan.

Karena sekolah kita lebih mengenal diri, mengenal Tuhan dan mengenal bagaimana kita seharusnya berkehidupan.   Sekolah itu untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu adalah wajib dan sangat menentukan derajat kemakhlukan manusia. Binatang itu tidak menuntut ilmu. Jin dan Malaikat pun tidak sekolah dan tidak mendapatkan ijazah. Hanya manusia yang bersekolah. 

Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab mengkaji persoalan pentingnya menuntut ilmu dibanding ibadah sunah.  Dalam pandangan Imam An Nawawi, menuntut ilmu lebih baik dari ibadah sunah baik sholat maupun puasa. Imam An Nawawi menukil riwayat Khatib Al Baghdadi mengenai keutamaan menuntut ilmu. Apalagi jika dibandingkan dengan ibadah yang hanya bermanfaat bagi orang yang mengerjakannya saja.

Menuntut ilmu itu wajib. Amalan sunah ya sunah, tidak wajib!  Bahkan orang melakukan ritual tanpa ilmu hanya ikut-ikutan apa bedanya dengan senam  dan menari?  Dengan berilmu maka setiap ibadah, amalan dan giat kita akan menjadi ladang amal yang wow dan bernilai tinggi. Para guru yang bekerja di dunia sekolah atau dunia pendidikan sungguh adalah para ahli ibadah. Mengapa? Karena sekolah adalah rumah ibadah terbaik.

Dunia SMK


Jangan sampai ada guru yang ritualnya baik, taat,  disiplin bahkan fanatik tapi ngajar dan mendidik anak didiknya males-males. Ini lahir dari pemahaman yang sempit. Padahal mendidik, mengajar keterampilan,  kejujuran dan bagaimana menjadi manusia seutuhnya jauh lebih penting dari ritual pribadi yang hanya untuk kepentingan pribadi. Menjadi guru adalah menjadi ahli ibadah terbaik! Bahkan menjadi kepala sekolah adalah menjadi imam di rumah ibadah pendidikan.

Minggu, 10 Mei 2020

Surat Terbuka untuk Covid-19




Yth. Covid-19
 
dimanapun berada 

Assalamualaikum wr.wb.

Covid-19 izinkan aku menulis surat untukmu, di sela-sela kesibukanmu yang semakin mengganas?

Covid-19 rasa-rasanya sudah menginjak bulan ke tiga kami merasakan kehadiranmu. Banyak hal yang ingin saya tanyakan. Bahkan begitu banyak pertanyaan2 untukmu yang tidak mampu saya mejawabnya.

Dan sampai saat ini saya tidak mengerti apa tujuan kedatanganmu? Apa yang sebenarnya ingin dituju? Mengapa membuat kami manusia sekarang ini demikian sengsara? Dan mengapa memporak-porandakan dunia dan tatanannya, juga hubungan antar-manusia? Mengapa menyebabkan begitu banyak orang mati? Apakah ini untuk pengurangan jumlah manusia, sehingga terjadi keseimbangan alam bumi, kesadaran baru atas cara hidup itu tujuannya atau apa? Atau ini adalah balasanmu Covid-19 terhadap kerakusan kami sebagai manusia?

Kalau aku boleh meminta padamu Covid-19 berhentilah dan pergilah jauh-jauh dari bumi Nusantara yg elok dan indah ini. Kehadiranmu sungguh merusak tatanan dan keindahan bumi Nusantara. Kami sudah lelah

Engkau sudah menujukan kehebatan dan kedigdayaan dengan izinNya, bahwa engkau mampu menembus tanpa ruang dan waktu. Tidak mengenal batas negara, tidak mengenal geografis, tidak mengenal batas-batas kedaulatan negara, tidak mengenal aturan imigrasi. 

Negara seketat apa pun penjagaannya, tidak ada artinya bagimu Covid-19. Negara adikuasa yang memiliki senjata nuklir, biologi dan kimia sekalipun tidak berdaya. Engkau memang ganas. Menyerang siapa saja, pejabat dalam segala tingkatan, politikus, tenaga medis, bintang film, tentara, polisi, pemimpin agama, pengusaha, pengangguran, guru, dan segala macam profesi, orang kaya maupun miskin rakyar jelata sekalipun, orang yang tinggal di kota besar, kota kecil, maupun di desa-desa, orang-orang yang tinggal di rumah-rumah gedongan maupun rusun atau rumah sangat sederhana, laki-laki maupun perempuan.

Berhenyilah dan biarkan kami hidup nyaman dan kembali hidup normal. Kami menyadari banyak khilaf dan lalai terhadap alam selama ini. Dan biarkan kami memperbaikinya.

Semoga engkau mau membalas suratku ini dengan menunjukkan itikad baik untuk segera pergi ke dunia lain.

Bila suratku ke baca dan dengar aku ingin ucapakan terima kasih karena engkau telah memberikan pelajaran yang berharga bagi kami sebagai manusia.

Wassalamualaikum wr.wb.

*

Dari hamba Alloh di Bekasi
Bekasi, 6 Mei 2020

Kekuatan ilmu yang dimiliki akan berdampak positif terhadap imunitas yang dimiliki,  takkan tergoyah iman seseorang manakala ilmu yang dimiliki kuat, imunitas keimanan akan tetap ada walau ada virus- virus ( godaan syaiton) naik turunnya kadar keimanan dikarenakan situasi dan kondisi ilmu yang didapat belum diyakini dengan haqqulyaqiin,  termasuk imunitas tubuh akan sebanding tegak lurus dengan gizi  dll. yang masuk terhadap tubuh kita, alhasil kunci utama adalah ilmu,  
Al-quran bukan hukum tapi sumber hukum, sumber ilmu,  rujukan untuk tatanan hidup dan kehidupannya, termasuk hidup berbangsa dan bernegara.

Diskursus Tentang PJJ



Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikan)



Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei terkait metode pembelajaran jarak jauh (PJJ)  dengan sistem online yang saat ini sedang diterapkan di tanah air.  Sejumlah temuan versi KPAI dapat menjadi  bahan informasi  dan   diskursus terkait realitas anak didik saat PJJ.

Survai   dilakukan KPAI pada bulan April 2020 dengan total responden sebanyak 1.700 orang yang merupakan gabungan siswa mulai dari jenjang dasar sampai SMA/sederajat di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota di Indonesia.  KPAI bagus sekali sudah mengadakan survai sehingga ada bahan diskursus terkait realitas anak didik.

Berikut narasi dan informasi hasil survai KPAI. Sebanyak 42,2% tidak memiliki kuota internet. Sebanyak 52,8 % meminta  internet gratis.  Sebanyak 76,7 % tidak senang PJJ. Sebanyak 23,3 % senang PJJ. Sebanyak 79,9%  PJJ tanpa interaksi Guru-Siswa. Sebanyak 20,1% ada interksi dalam PJJ. Sebanyak 95,4%) anak menggunakan HP dalam PJJ.  Sebanyak 23,9% menggunakan  laptop, dan 2,4% mengunakan computer PC.

Sebanyak 53,6% anak   tidak memiliki  wifi, dan  46,4% memiliki fasilitas wifi. Sebanyak 73,2 persen siswa merasa berat mengerjakan tugas dari guru. Sementara 26,8 persen mengaku tidak berat. Apa yang dinfokan KPAI ini adalah hasil survai internal yang dilakukan karena ada ratusan  orangtua siswa yang mengadu ke KPAI terkait PJJ. 

Selanjutnya tugas yang paling tidak disukai siswa antara lain, membuat video sebanyak 55,5 persen, menjawab soal dalam jumlah banyak 44,5 persen, merangkum bab materi 39,4 persen, dan harus menuliskan soal yang ada di dalam buku cetak sebanyak 25,6 persen. Sebanyak  77,8 %  menjawab tugas menumpuk karena guru lain juga memberikan tugas. 

Sebanyak  37,1 % menyatakan  waktu belajar yang sempit. Sebanyak 81,8 % responden selama PJJ berjalan 4 minggu, para guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang yang menjelaskan materi, diskusi ataupun tanya jawab. Informasi ini menjadi bahan diskusi bagi semua pihak terkait. 

Kehadiran wabah Covid-19 diluar dugaan dan membuat gagap warga dunia. Termasuk di dunia pendidikan. Namun  terkait PJJ akan lebih sukses bila hal berikut tidak  terjadi, yakni   : 1) ketidakmerataan pembangunan, 2)  kesenjangan ekonomi, 3) keterbatasan SDM guru, 4) ketersediaan infrastruktur  pembelajaran, 5) keterbatasan infrastruktur jaringan, 6) keberagaman kondisi lingkungan, 7) kesulitan askes pendidikan berkualitas, dan 8) keterjangkauan biaya pendidikan.

Kalau hanya untuk menerima keluhan dan “menghakimi” para guru memang mudah. Hasil survai KPAI memang dapat menjadi sebuah bahan kajian bersama dan masukan pada pihak terkait. Faktanya semua lembaga punya versi dan tentu dapat menjadi bahan kajian bersama.  Sebagai pengurus organisasi profesi guru dalam PGRI, kami  pun punya versi. Kami punya jejaring sampai ke tingkat ranting (sekolahan) dan jaringan yang setiap saat bisa menampung informasi dengan cepat dan faktual. 

Terkait guru  disebutkan 79,9%  dalam  PJJ tanpa interaksi  dengan siswa.  Memang para guru tidak lebay melakukan komunikasi secara dominan terhadap anak didik dalam PJJ. Mengapa? Karena memang para guru sengaja mengurangi porsi komunikasi agar anak didik dan kedua orangtua ada sinergi yang lebih aktif.   Intensitas komunikasi diberikan sepenuhnya pada orangtuanya. Ini sengaja!

Ibarat saat anak didik bersama gurunya di sekolah malah hampir tidak ada komunikasi antar anak dengan orangtuanya. Orangtua memberikan Intensitas komunikasi  sepenuhnya pada guru. Saat PJJ kondisinya dibalik, orangtua yang lebih dekat. Guru merenggang namun memantau. Guru  saat PJJ  malah memantau dengan  dua jalur komunikasi. Pertama komunikasi dengan anak didik langsung dan kedua dengan orangtua. Para guru punya jejaring WAG sebagai saluran mengontrol.

Guru faktanya melakukan komunikasi empat jalur, tidak banyak orang yang tahu bahkan KPAI  dan KemenPPPA sendiri. Sebenarnya  guru sudah melakukan komunikasi pada empat jalur komunikasi.  Komunikasi itu adalah :1) kepada anak peserta  PJJ, 2) kepada teman anak (pacar atau teman akrab) khusus bagi anak yang bermasalah atau ABK, 3) kepada orangtuanya dan 4) komunikasi transenden kepada Tuhan, mendoakan setiap anak. 

Sebanyak 81,8 %  guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang yang menjelaskan materi, diskusi ataupun tanya jawab. Ini sebuah  “modus” dari guru agar anak mandiri, mencari tahu dan mengajak kolaborasi dengan kedua orangtuanya. Plus komunikasi dengan rekan sebayanya. Bila guru dominan diskusi dan tanyaj jawab maka sama saja dengan saat di sekolah yakni klasikal.  Ini tidak efektif. PJJ lebih menekankan personal learning.

Sebanyak  77,8 %  menjawab tugas menumpuk. Setiap guru memang memberi tugas agar anak mengerjakan. Tugas utama anak didik sebetulnya tidak murni  menyelesaikan pelajaran dan tugas akademik. Namun hal yang utama yang diinginkan para guru adalah agar setiap anak dipastikan ada yang dikerjakan dan tidak ke luar rumah.  Lebih berisiko bila anak tanpa tugas dari gurunya, Ia bisa boring atau malah keluyuran.

Sebanyak 76,7 % tidak senang PJJ Hasil survai KPAI ini berbeda dengan hasil survai KemenPPPA yang mengatakan bahwa anak 58 % tidak senang PJJ. KemenPPPA melakukan survai di 29 provinsi dengan responden 717 anak.  Jangan-jangan nanti ada Lembaga survai lain dan kemudian berbeda lagi. Artinya sangat mungkin terjadi keragaman kesimpulan terkait kepuasan anak dalam PJJ.  Keberbedaan dan keragaman hasil survai adalah bahan diskusi.

Anak didik senang atau tidak dengan PJJ itu prioritas no tiga. Anak  didik harus ada di rumah dengan “jeratan” tugas, namun tentu tidak memberatkan dan membuat stres.  Kesehatan anak adalah utama.  Kedua anak tidak keluyuran, belajar no 3. Menumpuknya tugas disisi lain  agar Si Anak tidak merasa diliburkan dan hak belajarnya diberikan. Anak akan merasa dimanusiawikan dengan adanya tugas dari gurunya. Bisa dibayangan bila anak libur murni tanpa tugas. Ia akan merasa dibuang dan dianggap tak mampu belajar PJJ.

PJJ seberanya tidak terlalu menekankan pelajaran melainkan pada pendidikan. PJJ menghendaki setiap anak didik beradaptasi dengan suasana wabah Covid-19.  Sehat anak didik adalah utama. Tugas mata pelajaran  pun banyak yang kontekstual. Bahkan anak secara mudah dapat mendengarkan siaran televisi mendengarkan! penceramah dan mencatatnya sekemampuannya.  Mereka pun saat PJJ    diharapakan paham terkat pandemi corona.

Anak dengan PJJ dikenalkan pada sebuah realitas darurat, realitas wabah, realitas social distancing, realitas tanpa sekolah, realitas tanpa bertemu teman di darat, realitas tanpa  bertemu guru, realitas tanpa bertemu masyarakat, realitas pentingnya memahami bahwa hidup itu kadang unprediktable. Anak dipaksa memahami satu mata pelajaran “alami” yakni Mata Pelajaran Covid-19  yang menyerang dunia. 

Saat semua guru, semua orangtua dan para pejabat di negeri ini sudah tiada. Anak-anak didik kitalah yang akan menjadi saksi bagaimana ganasnya Covid-19. Ia  akan menjadi “sejarawan” dan ahli yang mampu menjelaskan langsung bagaimana sesungguhnya wabah Covid-19 menyerang kehidupan manusia. Jadi bukan mata pelajaran “mainstream”  yang utama saat wabah Covdi-19 melainkan wawasan kebencanaan non alam.

Guru adalah pendidik yang punya tugas mendidik, bukan hanya mengajar. Saat wabah Covid-19 guru  memberi tugas pada anak didik bagaikan tugas PPL atau KKN pada para mahasiswa dengan PJJ.  Substansi PPJ bukan terletak pada prioritas akademik  karena keadaan darurat bencana non alam. Apa  targetnya? Seperti yang diatas dituliskan yakni : 1) kesehatan anak, 2) anak tidak keluyuran, 3) anak tetap bisa belajar,  4) quality time bersama orangtua, 5) kemandirian dan uji karakter.

Sangat "ganteng' pernyataan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil,  Ia menyatakan, "Kita semua harus belajar pada anak sekolah dalam kedisiplinan disaat wabah Covid-19. Mereka disiplin diam di rumah". Ini jasa siapa anak sekolah diam di rumah?  Tentu jasa gurunya yang "menekan" mereka dengan berbagai "modus" agar tidak keluyuran.   Sukses melawan Covid-19 diantaranya karena kehidupan sosial sepi tanpa jutaan anak didik.

Maaf setidaknya ada dua entitas paling istimewa di dunia ini.  Semua harus memuliakannya, jangan coba-coba merendahkannya. Pertama generasi paling berharga yakni anak didik. Ia pewaris bangsa dan wajah masa depan  kita semua. Kehormatan kita semua ada diperforma mereka pada masa depan. Mereka adalah kita!

Kedua profesi paling berjasa yakni guru. Presiden, menteri, jenderal, dokter, pengusaha, politisi, kesemuanya lahir melintasi tangan dingin para guru. 

Pentingnya Iman, Imun Dan Imam



Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikian)



Saat wabah Covid-19 ini setidaknya kita harus makin menguatkan tiga hal. Apa tiga hal itu? Tiada lain adalah iman, imun dan imam. Iman terkait kesehatan bathin, imun terkait kesehatan lahir dan imam terkait kesehatan bersosial dalam berkehidupan.

Arti iman dalam ajaran agama versi Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Pengakuan atas Tuhan dalam ucap, hati dan tindakan. Jamaah Tabligh mengatakan, “Bila alam jagat raya ditimbang dengan  iman maka lebih berat  iman”

Dalam ajaran agama Islam ada kalimah iman yakni Laa ilaaha illallah. Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusanNya. Tiada kekaguman dalam hati yang paling dalam selain kepada Allah saja. Jangan sisakan, dedak, residu duniawi dalam hati. Semua urusan dunia harus dikeluarkan dalam hati.  Masukan Allah, nurullah ke dalam hati. Hati hanya untuk Allah saja!

Saya coba ketengahkan terkait iman dari sebuah sumber.  Semoga jadi bahan belajar. Sekecil-kecilnya Iman akan dibalas dengan surga 10 kali lipat dunia besarnya. Iman membuat seluruh jasad kita dapat taat kepada Allah, dan terhindar dari perbuatan maksiat. Tidak terkesan dengan segala suasana tetapi membuat kesan pada setiap suasana

Berkeyakinan bahwa kebahagian hidup di dunia dan di akhirat hanya terletak pada sempurnanya Iman dan amal sholeh. Berkeyakinan bahwa kebahagian hidup di dunia dan di akhirat terkait iman. Jangan terlalu mengandalkan pada kebendaan, harta, pangkat, kekuasaan atau keduniaan lainnya.  Selalu melihat kebaikan orang lain dan melihat keburukan diri sendiri

Tanda iman sempurna adalah tidak terkesan dengan maju mundurnya serta hiruk pikuknya keduniaan, tetapi akan merasa rugi dan menyesal apabila ada amal sholeh yang luput atau tertinggal. Orang yang beriman sempurna mengungguli orang-orang lain dalam upaya berbuat kebajikan. Qur'an juga merujuk ke mereka “yang lebih dahulu berbuat kebaikan” (QS Fathir, 35: 32).

Arti imun dalam dunia kesehatan terkait kekebalan tubuh, terkait daya tahan tubuh kita dari sebuah penyakit.  Terutama saat ini daya tahan tubuh merupakan kunci melawan Covid-19. Kekebalan tubuh tetap harus dijaga dan ditingkatkan meski kita sudah mengisolasi diri di rumah demi mencegah penyebaran virus corona.

Imun, imunitas adalah kekuatan kita dalam menghadapi tantangan wabah dan serangan jenis penyakit lainnya. Tak bisa ditawar tubuh kita harus imun. Makanan, minuman, olahraga, pikiran, perasaan, situasi dan bahkan terkait keimanan yang sudah dibahas di atas  dapat mensuplai imunitas  pada diri kita.

Terakhir apa itu imam. Sederhana saja, imam adalah pemimpin. Kita harus selalu punya pemimpin sebagai rakyat atau ma’mum. Imam adalah sebuah posisi pemimpin dalam agama Islam. Keimaman dalam kehidupan kita di Indonesia adalah berada di tangan Presiden. Presiden adalah imam dalam berbangsa dan bernegara. Wajib diikuti.

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa' [4]: 59). Kalau kita kaitkan dengan judul di atas ayat ini sangat terkait. Setidaknya  terkait kepada dua variabel yakni variabel  Iman kepada Allah,  Rosulullah, dan variabel imam yakni kepada ulil amri. Tentu imam yang kita ikuti adalah imam yang taat kepada Allah dan RosulNya.

Variabel imam identik  dengan ulil amri. Ulil Amri adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengurus kepentingan-kepentingan umat. Ketaatan kepada Ulil Amri (pemimpin) merupakan suatu kewajiban umat, selama tidak bertentangan dengan nash yang zahir. Adapun masalah ibadah, maka semua persoalan haruslah didasarkan kepada ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Intinya betapa pentingnya  _terutama disaat wabah_   kita kuatkan iman, imun dan keimaman kita. Apalagi di bulan suci Ramadan saat ini.  Kuatkan iman dengan berbagai upaya. Jaga imunitas dengan berbagai cara. Plus kuatkan ketaatan kita pada pemimpin. Berpikir dan berprasangka positiflah pada ketiganya. 

Positiflah kepada Allah. Allah sebagaimana prasangka hamba-Nya. Positiflah kepada kekebalan diri kita, tentu dengan berikhtiar seperti hal di atas.  Jangan parnoan, latah, galauan dan suudzon. Positiflah berpikir bahwa kita insyaallah sehat. Hal ini penting ditanamkan pada bawah sadar kita. Agar alam bawah sadar “bekerja”  membangun kekuatan tubuh kita. Agar kita “mengebal”.

Terakhir positiflah pada pemimpin kita. Bila kita berpikir negatif  pada  pilot pesawat saja bisa tak tenang. Percayalah, pesawat akan sampai. Atau seorang istri selalu berpikir negatif  pada suaminya sebagai imam, bisa stress. Apalagi pada kepala negara sekelas Presiden. Berpikirlah positif. Seorang Presiden tidak hadir ujug-ujug. Ia dipilih sebagai imam oleh mayoritas jutaan umat manusia. Pemilihnya  ada guru, kiyai, ulama, habieb, ilmuwan, rakyat jelata dan jenis lainnya.

Iman, Imun dan Imam  semoga ketiganya bisa menjadi milik kita yang terbaik.  Iman kita terbaik. Imun kita terbaik dan imam kita pun terbaik. Ya Allah semoga wabah Covid-19 yang saat ini sudah memapar belasan ribu dan ratusan orang sudah meninggal.  Semoga cepat berlalu. Kabulkan doa kami ya Allah.  Bangsa Indonesia segera  bangkit kembali dan Covid-19 segera pergi. Sungguh pertemuan dengan Covid-19 sangat disesali dan perpisahannya sangat diharapkan segera!

Melihat Pemikiran Iwan Syahril



Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)



Dalam tulisannya yang berjudul “Proklamasi dan Transformasi Pendidikan Indonesia Abad ke-21” yang Ia ramu dari buku “Peluang dan Tantangan Pendidikan Abad 21” terbitan STKIP Kebangkitan Nasional-Sampoerna School of Education, 2011. Ia menuliskan terkait pentingnya “kebangkitan” pendidikan di abad 21.

Iwan Syahril menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buah karya gerakan terorganisir para pemuda pelajar. Terutama para mahasiswa yang mengecap pendidikan tinggi. Iwan Syahril  seolah berpesan bahwa “Hanya dengan gerakan terorganisir sebuah kebangkitan akan tercapai”.  Begitu pun dalam dunia pendidikan.

Dunia pendidikan adalah kunci. Ia mengatakan karena pendidikanlah Indonesia terbangun. Kesadaran, persatuan dan cita-cita itu terlahir karena proses pendidikan. Kebangsaan itu terlahir karena pendidikan. Pendidikan menyadarkan kebangsaan. Iwan Syahril dalam tulisannya seolah menghendaki gerakan kebangkitan  jilid ke  4, dimulai dari pendidikan!

Gerakan kebangkitan bangsa kita memang berjiid-jilid, jilid pertama yakni saat generasi Budi Utomo 1908. Jilid ke dua  generasi  Sumpah pemuda 1928, dan  jilid ke tiga  generasi saat  proklamasi kemerdekaan  1945? Setidaknya perjuangan terorganisir pada masa lalu untuk memerdekakan negara sudah tercapai.

Bagi Iwan Syahril ada perjuangan di abad 21 yang harus mengorganisir ulang  kekuatan bangsa yakni melakukan transformasi pendidikan. Bukan hanya reformasi pendidikan. Reformasi baginya  hanyalah bentuk lebih baik dari apa yang selama ini kita telah lakukan. Sedangkan transformasi  berarti menjadi sebuah bentuk yang berbeda dari apa yang sudah ada selama ini. Berbeda (kebaruan) itu lebih penting dari hanya lebih baik. 

Iwan Syahril ingin pendidikan Indonesia “tampil beda”.  Apakah Ia pengagum Gus Dur yang selalu harus tampil beda?   Iwan Syahril memaparkan lima langkah transformasi pendidikan agar kita lebih baik,  bangkit dan berbeda.  Pertama,  pendidikan harus memerdekakan. Ia tidak boleh menjadi penjara kreatifitas dan imajinasi siswa. Ia tak boleh mengerdilkan dan menindas peserta didiknya yang kejeniusannya tidak bisa dibuktikan lewat ujian tertulis semata.

Kedua, pendidikan tidak boleh membungkam rasa ingin tahu siswa yang tak tersentuh oleh buku teks dan soal ujian. Proses belajar mengajar seharusnya tidak berpusat pada guru, sekolah, kurikulum, orang tua, apalagi penguasa, tapi menginspirasi siswa untuk memberi jutaan pertanyaan tentang hal-hal yang nyata di sekitar mereka. Inspirasi yang menggerakkan mereka untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan jawaban dari sumber-sumber pembelajaran yang ada.

Ketiga, pendidikan memberi contoh konsisten implementasi tutur, tindak dan perilaku norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Ia tidak boleh memodelkan cara berbuat curang, termasuk kolusi, korupsi, maupun manipulasi karena alasan apa pun. Guru dan segenap elemen di sekolah harus menjadi contoh dalam bertindak dan berperilaku yang baik.

Keempat, pendidikan harus menjadi bagian pembangunan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika. Ia tidak boleh boleh menyemai bibit curiga, benci, dendam, dan permusuhan, baik karena hal suku, ras, kelas, harta, agama, antar golongan, dan antar bangsa. Idealnya dalam satu ruang kelas di Indonesia terlihat keanekaragaman agama, suku dan kelas sosial. Misalnya ada orang Jawa, Batak, Maluku, Cina, dan Minahasa.

Kelima, pendidikan harus menciptakan budaya belajar yang dicontohkan semua guru. Guru pembelajar menghasilkan pengajaran yang berkualitas. Guru pembelajar selalu mencari pengetahuan terkini dan terus mencari berbagai cara mengajar kreatif dan efektif. Guru pembelajar menginspirasi siswa dan masyarakat untuk gandrung belajar. Karena itu guru pembelajar akan meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.

Ahaa, kelima pemikiran terkait transformasi pendidikan di atas cukup wow. Sebaiknya para guru membaca dan memahami pemikiran Iwan Syahril yang ditulis  sejak tahun 2011.  Kini Ia menjadi pejabat Kemdikbud sebagai Dirjen GTK. Ia menjadi “Bapak Muda” para guru. Mengapa menjadi Bapak Muda, bukan mamah muda? Karena Ia Bapaknya para guru dalam usia muda. 

Itulah era disrupsi. Mendikbud dan Dirjennya adalah generasi muda. Mas Menteri dari Bos Gojek dan Dirjen GTKnya dari guru, dosen  Yayasan perguruan swasta. Ada sejumlah harapan  pada mereka _Mas Menteri dan Bang Iwan_ yakni nasib guru dan pendidikan harus jauh  lebih baik. Mereka masih muda dan pembelajar, kita punya harapan dan guru menanti harapan lebih baik itu.
Semoga menginspirasi
Salam Inovasi

#rumahbelajar #dutarumahbelajar #kemendikbud #kemendikbudri #pusdatin #pusdatinkemdikbud #pgrizamannow #gurukampung3t #merdekabelajar #manggaraiberinovasi #nttmaju #majubersamamercerdaskanindonesia #sm3t #komunitasgurupenggerakrumahbelajar

Guru Cukup 14 Jam KBM

Guru Cukup 14 Jam KBM



Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)



Menarik gagasan Guru Besar UPI, Prof. Dr. Said Hamid hasan, MA.  Semoga Saya tidak salah menerjemahkan dalam narasi pendidikan berikut. Ia mengatakan, “Guru tidak boleh dibebani mengajar lebih dari 14 jam per minggu”. Aha pendapat ini sangat profesor menurut Saya. 

Mengapa Saya katakan sangat profesor?  Karena gagasan ini seirama dengan realitas tuntutan dunia pendidikan di satuan pendidikan.  Ini bukan tuntutan guru, melainkan tuntutan ideal di lapangan. Ini gagasan emas yang harus ditangkap oleh Dirjen GTK yang baru Bapak Dr.  Iwan Syahril, Ph.D. Ayo Pak Dirjen yang baru, berani menerima gagasan emas?

Bukankah Bapak Dirjen belasan tahun sebelumnya sudah mengatakan butuh transformasi pendidikan bukan hanya reformasi pendidikan. Transformasi menurut Pak Dirjen GTK adalah tampil beda. Ada novelty  efektif dalam dunia pendidikan kita.  KBM 14 jam adalah tampil beda!

Apa yang menjadi alasan Prof. Dr. Said Hamid Hasan menggagasa KBM 14 jam? Mari kita dalami. Beliau mengatakan guru harus punya waktu untuk belajar, berpikir,  mengembangkan kreatifitas. Kalau kita lihat pemikiran Prof. Said Hamid nampaknya ada kemiripan dengan gagasan Pak Dirjen Iwan. 

Bukankah Pak Dirjen  Iwan setuju dengan pentingnya para guru menjadi pembelajar dan menolak guru sebagi tukang ngajar yang mekanis.  Saya melihat pemikiran Prof. Said Hamid  seirama dengan pemikiran Pak Dirjen Iwan. Pak Dirjen Iwan menuliskan bahwa  budaya belajar harus dicontohkan para guru. 

Prof. Said Hamid di atas mengatakn guru harus punya waktu untuk belajar. Bukankah guru belajar itu adalah buntuk siswa juga. Untuk siswa apa yang dibacanya dan untuk siswa saat Ia terlihat belajar. Siswa melihat guru belajar akan menstimulus rasa ingi belajarnya.

Prof. Said Hamid bahkan tidak setuju  UN sudah sejak lama. Ia pun mengkritik UKG yang tak efektif. Selanjutnya Beliau mengatakan di kelas kuliahnya tidak ada lagi UTS  dan UAS. Mahasiswa digiring membaca, membuat anotasi dan menulis (makalah). Ini penguatan literasi yang menjadi bagian kelemahan generasi kita. 

Selanjutnya Prof. Said Hamid “melarang” guru mengajar di sekolah lain atau beberapa sekolah. Beliau mengatakan gegara 24 jam KBM banyak guru kelelahan. Bila saya  narasikan guru jadi  mondar mandir di sejumlah sekolahan. Habis waktu dan lelah di jalan.  Guru habis energi dan menurut Prof. Said Hamid anak jadi dirugikan! Bisa jadi demikian. Guru terlambat, guru harus tarik nafas. Sementara anak didik menunggu.

Kembali ke Pak Dirjen Iwan, Ia menulisakan, “Guru pembelajar selalu mencari pengetahuan terkini dan terus mencari berbagai cara mengajar kreatif dan efektif. Guru pembelajar menginspirasi siswa dan masyarakat untuk gandrung belajar”. Mungkinkah gagasan ini tercapai dengan KBM minimal 24 jam. Bahkan ada guru hampir 40 jam KBM.

Seorang kepala sekolah  di Kota Sukabumi mengatakan, “Bila jam guru terlalu banyak maka anak didik dipastikan akan terabaikan. Komunikasi  dan sinergi dengan orangtua kurang, Plus  pengembangan diri  guru menjadi  terhambat”.  Menuntut profesionalitas guru dalam “jebakan” jam KBM di atas 14 jam sangat tak mudah.

Sebagai pengurus organisasi profesi guru, Saya tahu persis bila jumlah KBM 24 jam bagi guru muda masih mending. Bisa dibayangkan guru senior yang berumur mendekati pensiun mengajar 24 jam KBM.  Guru akan terus menua, sementara anak didik tak pernah menua. Mereka selalu dalam usianya dan berganti setiap tahun.

Bila kita harus jujur melihat fakta di lapangan pendidikan kita. Wakasek yang punya beban mengajar 12 jam KBM  saja hampir tidak bisa  full karena sibuk mengurus tugas tambahan dan tugas pengembangan lainnya. Dahulu saat kepala sekolah ada tugas mengajar 6 jam KBM pun mayoritas tidak bisa masuk.

Mengapa 12 jam dan 6 jam saja hampir tidak bisa maksimal? Karena tugas menjadi guru itu tidak hanya tukang ngajar.  Apalagi sekolah yang siswanya ratusan bahkan ribu.  Guru jadi robot KBM demi mengendalikan  ribuan anak. Bukan demi melayani secara personal dan kreatif. 

Meminjam istilah Pak Dirjen Iwan ada guru mekanik atau tukang ngajar. Guru mekanik dan tukang ngajar adalah guru yang teacher centered. Sejatinya peran  istimewa guru jadi tergerus karena beban KBM.   Padahal guru harus sama-sama pembelajar dengan siswa. Polanya student centered. 

Studen centered adalah guru berhamba pada anak didik. Secara maksimal melayani anak didik, karena punya cukup waktu.  Kalau mengajar wajib seminggu 24 jam KBM maka yang terjadi adalah bukan berhamba tapi menjadi “hamba sahaya”  pendidikan. Loyo dan tak sempat belajar.

Ayoo Pak Dirjen GTK Bapak  Dr. Iwan Syahril, Ph.D lakukan terobosan! Bisakah guru mengajar 14 jam? Biarkan guru punya banyak waktu untuk tarik nafas dan belajar meningkatakan layanan pada setiap anak didik. Guru bukan robot KBM,  tetapi  manusia pelayan masa depan anak didik!

Semoga menginspirasi
Salam Inovasi

#rumahbelajar #dutarumahbelajar #kemendikbud #kemendikbudri #pusdatin #pusdatinkemdikbud #pgrizamannow #gurukampung3t #merdekabelajar #manggaraiberinovasi #nttmaju #majubersamamercerdaskanindonesia #sm3t #komunitasgurupenggerakrumahbelajar

Senin, 06 Januari 2020

Kepala Sekolah Setor Mulu!


Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)

Dahulu sebelum alih kelola ada seorang oknum politisi menelopon Saya.  Ia menjanjikan Saya untuk menjadi kepala sekolah asal setor. Otak Saya kaget. Ini politis apa badut? Saya simpulkan ini politis kelas badut. Mengapa Saya katakan demikian? Karena politis semacam ini adalah politisi pencari nafkah dengan “membadut” di dunia yang seharusnya mengaspirasikan suara rakyat. 

Satu lagi ada  oknum penegak hukum. Ia ngebadut juga.  Ia mengatakan, “Pak Dudung jangan terlalu banyak nulis kritis di media, nanti bapak tidak akan jadi kepala sekolah.” Makin bertambah badut di  negeri ini. Plus ada satu lagi seorang birokrat pendidikan mengatakan bahwa Saya mirip LSM.  Tak berkarakter  pendidik dan tak mencerminkan  pengurus organisasi guru. Saya berpikir, “Makin banyak badut di negeri ini”.

Saat ini di Jawa Barat lagi hangat kembali OTT seorang pejabat Disdik karena mengumpulkan setoran dari para kepala sekolah. Saya jadi ingat cerita lama saat Saya dimintai sejumlah uang untuk jadi kepala sekolah. Sungguh perbadutan ini sangat jelimet dan mengendap terlalu kuat. Pantas  saja kehadiran Jokowi konon katanya sangat tidak didukung sejumlah ASN karena akan memberangus dunia perbadutan dari tradisi semua regim sebelumnya. 

Bukankah Jokowi mengatakan Rp. 10 000 pun harus ditindak? Kembali pada dunia pendidikan kita yang penuh dengan perbadutan.  Saat Jokowi dan Ahok jadi Gubernur DKI Jakarta dunia setor  pra rekrutmen kepala sekolah menjadi terminimalisir karena ada sistem lelang.  Menjadi kepala sekolah harus lolos seleksi bukan lolos relasi. Jokowi dan Ahok mencontohkan bagaimana rekrutmen kepala sekolah tanpa setor. Merit dan ketat.

Gosip lama, untuk menjadi seorang kepala SMAN di sebuah kota konon katanya dahulu harus meraih kocek Rp. 250 juta?  Wow. Dapat dibayangkan bagaimana selanjutnya. Bukankah uang itu harus dikembalikan pada dompet asalnya? Caranya? Ya pasti 1001 cara akan dilakukan.  Rusak dunia pendidikan kita bila pimpinan satuan pendidikian diberi SK dengan jalur setor mulu. Sungguh perbadutan ini sudah lama terjadi.

Sekolah idealnya dipimpin oleh kepala sekolah hasil seleksi yang sangat ketat. Seleksi tanpa pulus, bukan hasil relasi dan suap sapi maksud Saya suapisasi. Bila seorang kepala sekolah hasil seleksi ketat, buah prestasi maka bawaan memimpin sekolahnya akan kearah prestasi. Bila jadi kepala sekolah karena setor dan kepentingan politik maka bawaannya pasti politik dan setoran mulu.  Setor mulu adalah budaya buruk dalam dunia birokrasi kita.

Apresiasi pada Gubernur Baru Ridwan Kamil terkait rekrutmen kepala sekolah SMA/SMK/SLB di Jawa Barat. Sampai saat ini Saya belum mendapatkan aspirasi terkait budaya “setor mulu” dari regim RK.  Visi Jabar Juara Lahir Bathin nampaknya akan terus dilecut Gubernur RK. Saya membaca rekrutmen kepala sekolah tahun 2019 di era Gubernur RK sangat ketat dan bagai masuk lubang jarum sempit. 

Dapat dibayangkan  akhir tahun ini dari pendaftar 997 guru SMA/SMK/SLB  terbaik dan semuanya sudah jadi wakasek diterima hanya 69 orang dalam seleksi kepala sekolah.  Dari 997 pendaftar diseleksi administrasi  dan dinyatakan lolos menjadi 600 peserta seleksi lanjutan. Dari 600 kembali diseleksi  menjadi 300 orang yang terpilih. Dari 300 terpilih kembali diseleksi menjadi 100 terbaik. Dari 100 terbaik kembali diseleksi substansi, tertulis, wawancara oleh LPPKS dari Solo. Akhirnya terpilih 69 terbaik. Sungguh sulit!

Gubernur RK dan  Kadisdik  Jawa Barat,  Dewi Sartika nampaknya berkomitmen  kuat untuk suguhkan Jabar  Juara lahir bathin. Menarik sambutan Kadisdik Jawa Barat dan Sekertaris Disdik Jawa Barat yang mengatakan tentang transparansi rekrutmen kepala sekolah tahun ini. Bahkan Sekdisdik Jawa Barat Firman Adam mengatakan, “Tidak ada lagi kepala sekolah ujug-ujug”. Saya jadi berpikir kepala sekolah ujug-ujug itu apa ya? Mungkin kepala sekolah tanpa selesksi dan hasil setor mulu.

Saat ini eranya dadah  atau goodbye pada segala bentuk “setor mulu”.   Era merdeka belajar, era guru penggerak, era kepala sekolah merdeka. Merdeka dari segala bentuk “setor mulu” yang sangat tak sehat dalam dunia pendidikan kita.  Segalanya berawal dari dunia pendidikan. Bila dunia pendidikan masih menyisakan mental  “setor mulu” residu dari politik pra alih kelola maka sampai kapan dunia Indonesia akan membaik? Getir memang kisah OTT di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.

Ada sekitar 514 kota kabupaten  dan 34 provinsi di Indonesia,  apakah bisa terbebas dari budaya “setor mulu”?  Apakah dana BOS, DAK  dana pendidikan lainnya bebas dari budaya “setor mulu?” Selama seorang abdi negara, menjadi PNS, menjadi kepala sekolah, menjadi pejabat pendidikan terkait  budaya “setor mulu” maka selama itu pula dunia pendidikan kita hanyalah konservasi drama perbadutan. Stop dunia badut! Mari kita mulai dari kewarasan yang bisa dipertanggung jawabkan dihadapan rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa. Itu pun kalau percaya Tuhan!