Minggu, 17 Januari 2016

Yuk Merawat Nalar Bangsa

Yuk Merawat Nalar Bangsa

Walau pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam masa lebih dari setahun, pemerintahannya belum juga tunjukkan gagasan serta implementasi konkret revolusi mental, anggaplah pemerintah serius dengan ide ini. Sekurang-kurangnya, alur silogismenya lurus serta berkelanjutan hingga revolusi mental di rasa jadi satu rangkuman valid. 

Revolusi mental digagas Joko Widodo (Kompas, 10/5/2014) dengan premis kalau sepanjang 16 th. menggerakkan reformasi kita cuma menjangkau perkembangan hanya kelembagaan. Ekonomi makin berkembang serta orang-orang banyak yang jadi bertambah makmur, namun mengapa orang-orang kita jadi jadi bertambah bimbang, bukannya jadi bertambah bahagia? 

Menurut Jokowi, pembangunan kita belum juga menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menggerakkan system hingga nation building tidak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya. Supaya perubahan betul-betul berarti, berkaitan, serta sesuai sama harapan Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, serta makmur, kita butuh lakukan revolusi mental. 

Jalan tol nir-jalan fikiran 


Walau sekian, sepanjang pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) berjalan, kita melihat kesenjangan pada proposisi yang dinyatakan serta agenda yang digerakkan. Pemerintahan ini terlihat lebih getol membuat tol dari pada membuat jalan fikiran bangsa. Walau sebenarnya, jalan fikiran adalah isi mental paling utama yang menghubungkan kita dengan masa depan yang dicitakan serta karena itu butuh lebih dulu dirawat. 

Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, serta berkepribadian dalam budaya yang jadi harapan pemerintah adalah problem serta berawal dari jalan fikiran atau mindset bangsa. Kebangkitan bangsa-bangsa maju biasanya diawali dari usaha pelihara nalarnya hingga berkhidmat pada akal sehat. Kehidupan serta perkembangan duniawi nampaknya tersusun atas hukum-hukum yang rasional serta juga akan berkembang cuma bila dipahami serta ditempuh sesuai sama hukum itu. 

Memprioritaskan pembangunan fisik sambil seadanya meningkatkan jiwa serta fikiran, terkecuali tidak selaras dengan “Indonesia Raya”, juga melawan hukum nalar perkembangan. Pembangunan sesuai sama itu selanjutnya cuma juga akan melanjutkan siklus absurditas sisifus seperti sampai kini : membuat untuk melihat kejatuhan/kemerosotan. 

Dengan revolusi mental jadi pergerakan nasional seperti disebut penggagasnya, seyogianya pemerintah mengutamakan usaha pencerdasan kehidupan bangsa jadi jalan membuat alur fikir bangsa. Ironisnya, usaha pencerdasan bangsa lewat pendidikan dalam beragam ranahnya saat ini masih tetap diliputi beragam problem mendasar. 

Tujuan evaluasi yang digerakkan hanya memaksimalkan kekuatan berfikir tingkat rendah. Fikiran beberapa murid sehari-hari dijejali oleh bermacam data pengetahuan yang-entah bermanfaat atau tidak-dihafal serta ditest di masa datang. Sedikit beberapa pelajar dilibatkan dalam sistem berfikir tingkat tinggi, seperti menalar, mengkaji, serta memecahkan problem yang konon jadi satu diantara kecakapan paling utama yang diperlukan untuk hidup serta berhasil di era ke-21. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 tunjukkan kuatnya kekuatan berfikir murid Indonesia pada tingkat rendah serta lemahnya kekuatan berfikir tingkat tinggi. Sesaat negara maju, seperti Singapura serta Korea Selatan, tunjukkan kekuatan demikian sebaliknya. 

Dengan bekal kekuatan berfikir tingkat rendah, masuk era ke-21 dengan masa globalisasinya yang penuh persaingan perebutan juga akan jadikan bangsa ini seperti keledai yang tidak mempunyai kewibawaan, kemandirian, serta jati diri. Tanda itu mulai terlihat serta merasa saat beragam kebijakan serta gerak budaya kita bertujuan pada beberapa standard “asing”, bahkan juga mungkin saja untuk kebutuhan asing, dengan alasan “demi daya saing”. 

Memberi perhatian besar pada bagian pendidikan terkecuali jadi sinyal pemerintah berfikir maju juga adalah kewajiban untuk penyelamatan bangsa. Beragam masalah pendidikan kita saat ini sangatlah kronis serta membutuhkan Presiden turun tangan karna besaran serta substansinya sudah melampaui kemampuan departemental atau kementerian. Bila fakta ini selalu diabaikan, bukanlah saja juga akan menyebabkan pada involusi dalam dunia pendidikan, tetapi juga pada kehidupan berbangsa serta bernegara. 


Kembali pada pangkalan 


Bangsa Indonesia dengan pendidikannya alami disorientasi di dalam pusaran arus perubahan yang sekian cepat. Program serta operasi pendidikan saat ini seperti tersedot oleh pesona pragmatisme untuk bertanding dalam masa globalisasi. Pendidikan semakin jauh meninggalkan pangkalan, menuju tak tahu ke mana. Akhirnya, bangsa yang cerdas seperti diputuskan dengan arif oleh beberapa pendiri bangsa, sesudah tujuh puluh th. merdeka semakin jauh panggang dari api. 

Bangsa ini mungkin kualat karna demikian lama tidak merawat wasiat “mencerdaskan kehidupan bangsa” serta lebih menyibukkan diri pada pembangunan ekonomi. Walau sebenarnya, kecerdasan adalah substansi yang memastikan martabat kemanusiaan. Bila saja “mencerdaskan kehidupan bangsa” diamati mulai sejak dahulu, sangkanya bangsa ini tidak jadi begini : beberapa murid kita tidak cuma unggul pada kekuatan berfikir tingkat rendah, namun juga unggul pada penalaran tingkat tinggi. 

Berfikir tingkat tinggi adalah inti berfikir yang sebenarnya karna memerlukan semua potensi serta kekuatan kognisi. Pembedaan “tinggi-rendah” yang didasarkan pada taksonomi Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) bukanlah ditujukan tunjukkan hierarki kebutuhan, namun mempunyai tujuan memudahkan dengan didaktik-metodik evaluasi. Berfikir tingkat rendah adalah fondasi serta kriteria untuk masuk serta menggerakkan kekuatan berfikir tingkat tinggi. Dasarnya, kiat evaluasi sebaiknya menghadap pada perolehan kekuatan berfikir, tidak cuma isi fikiran. 

Satu diantara kekurangan paling utama pendidikan kita mulai sejak dulu yaitu problem metodologi yang dipakai beberapa guru dalam evaluasi. Untuk beberapa kalinya, berkaitan masalah ini, saya mengangkat hasil riset Prof CE Beeby (1987) yang menyebutkan kalau guru-guru menjelaskan pelajaran dengan latar belakang pengetahuan serta ketrampilan metodik yang minimum, terbatas pada buku teks yang dipunyainya. Andalan beda mungkin saja sisa-sisa ingatannya dari apa yang sempat dipelajarinya dahulu di sekolah. Sesudah menguraikan suatu hal problem, guru menggunakan sisi paling besar jam pelajarannya untuk mendiktekan atau menuliskan apa yang diajarkannya di papan catat serta menanti murid menyalinnya. Catatan tersebut yang dipelajari murid serta jadi bahan ulangan. Sedikit sekolah di Indonesia menolong menumbuhkan potensi seseorang murid, serta dampak sekolah yang membosankan.menjengkelkan dan tidak imajinatif itu tetaplah merasa saat seorang jadi dewasa serta memimpin orang-orangnya. 

Singkirkan kebutuhan politis 


Diantara usaha yang bisa meningkatkan kekuatan serta kecakapan berfikir yaitu evaluasi berbentuk dialogis atau partisipatif, atau apalah namanya. Evaluasi mesti melibatkan dengan aktif beberapa murid dalam sistem berfikir, intinya lewat beragam ekspresi, seperti verbal serta gerak badan. Hal semacam ini perlu karna dengan filosofi tiap-tiap aksi sadar selalu ada intensionalitas yang meniscayakan rasionalitas. 

Dengan normatif, pemerintah sudah pas untuk melakukan perbaikan praktek kelas, diantaranya lewat UU System Pendidikan Nasional (UU No 20/2003) dengan memperbarui pengertian pendidikan serta UU Guru serta Dosen (UU No 14/2005) mengambil keputusan profesionalisme dengan kompetensi guru. Disamping itu, wacana mengenai jenis evaluasi partisipatif yang mengasyikkan serta yang efisien berkembang cepat di Tanah Air. Buku-buku seperti revolusi evaluasi, akselerasi evaluasi, guru efisien, evaluasi serta pengajaran kuantum banyak dijajakan. 

Sayangnya, ketentuan normatif serta beragam wacana pembaruan pendidikan dalam kiat implementasinya sangat banyak diwarnai kebutuhan politis hingga tidak efisien. Yang keluar serta mengambil alih daya jadi masalah sertifikasi yang berkaitan dengan tunjangan profesi serta kurikulum. Ide-ide evaluasi moderen yang berkembang tidak terserap serta penambahan kompetensi guru yang semestinya membutuhkan intervensi kualitatif terlewatkan. 

Saat ini, berkaitan pencerdasan bangsa yang bermuara pada tingkatkan kekuatan berfikir, pemerintah-khususnya yang mengatasi bagian pendidikan-diharapkan konsentrasi pada tantangan tingkatkan kemampuan beberapa pendidik lewat pendekatan insentif serta motif. Pemerintah sudah memberi tunjangan profesi yang relatif baik pada beberapa pendidik, namun selama ini pemerintah belum juga mengelola motif dengan efisien. Dibutuhkan satu jenis intervensi untuk tingkatkan motivasi yang sekalian jadi pendorong penambahan kompetensi pedagogi serta profesional untuk pendidik dalam jabatan serta calon pendidik hingga mereka bisa menggerakkan evaluasi yang dialogis seperti semangat dari undang-undang. 

Cetusan inspirasi revolusi mental seyogianya jadikan titik balik ke pangkalan pendidikan kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua dimensinya. Fikiran bangsa ini sudah tumbuh bak semak-belukar jadi rimba hingga tutup beragam jalan perkembangan. Jadi, janganlah abaikan pendidikan. 

Jadi, senyampang peringatan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2016) jadi titik pergi, pemerintah lewat Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan sangkanya butuh mulai membuat jalan (tol) fikiran bangsa untuk menghubungkan kita dengan masa depan yang dicita-citakan oleh beberapa pendiri republik ini. 

0 komentar:

Posting Komentar