Nalar Kebinekaan Indonesia |
Nalar Kebinekaan Indonesia
Dua tanda sangat mencolok yang merepresentasikan keadaan sosial politik Indonesia akhir-akhir ini yaitu perseteruan politik (political conflict) serta kekerasan kolektif (political violence). Kita dapat lihat kisruh elite politik, dimana telah menjurus pada persaingan personal serta gesekan institusional. ‘Perang dingin’ pada Menteri BUMN, Dahlan Iskan dengan deretan anggota dewan, beberapa waktu terakhir sudah meng-konfirmasi itu. Keduanya sama-sama beradu alasantasi serta perang pernyataan merebutkan kebenaran berkaitan tanda-tanda sangkaan praktek pemerasan pada BUMN yang dikerjakan oleh oknum politisi di Senayan.
Fakta itu seolah mengilhami tanda yang berada di orang-orang grass root tingkat bawah. Nyaris berbarengan, perseteruan kembali berlangsung di Desa Sidoreno, Waypanji, Lampung Selatan. Perseteruan yang awal mulanya dipicu oleh problem remeh itu singkatnya berkembang jadi kekerasan kolektif antar-etnis. Walau motif, basis serta latar belakang perseteruan pada elite di tingkat atas serta orang-orang tingkat bawah berlainan. Tetapi, tak tahu kenapa bangsa yang notabene di kenal ramah ini dapat saat itu juga demikian gampang tersulut api kemarahan, kebencian serta kegeraman yang menyebabkan perseteruan.
Di dalam ketegangan krisis, perjuangan bangsa ini malah terlihat dikelola dengan beberapa cara penuh emosional. Ego bidangal serta amarah diprioritaskan dari pada berfikir rasional dialogis. Datangnya info sering di terima dengan taken for granted serta jadi kebenaran mutlak ‘pembenar’ untuk aksi agresif tanpa ada memedulikan kebutuhan orang yang lain. Tingkah laku ini menghapus kebebasan berpikir serta kesempatan untuk menalar kalau bangsa ini dibuat atas basic kebhinekaan. Demikian halnya kultur menguasai untuk demokrasi yaitu menghormati keberagaman, kompromi, sikap moderat serta hak-hak individu (Almond serta Verba, 1963). Sesaat, perseteruan yang berlangsung juga akan memudarkan nilai serta makna kebhinekaan tersebut.
Perseteruan di tingkat elite ataupun akar rumput itu adalah kenyataan tidak terbantahkan begitu pelihara kebhinekaan lebih gampang disampaikan dari pada diwujudkan. Kebhinekaan jadi pilar paling utama bangsa memperoleh kendala serius. Kendala ini lahir dari tatanan orang-orang kita yang masuk kelompok centrifugal democracy. (Arend Lijphart, 1999) Satu keadaan dimana ranah politik begitu kompetitif dengan orang-orang yang terfragmentasi oleh bermacam gosip serta kebutuhan. Nyaris tak ada musuh dengan (common enemy) yang perlu dikawal dengan simultan oleh semua bangsa. Keadaan ini diakui atau tidak sudah menyuburkan tingkah laku individualis, egois, superior, hipokritis, tribalisme, chauvinis, ekstrimis serta dominatif.
Semuanya mewujud jadi sikap personal ataupun pilihan komunal yang membisukan nalar kebhinekaan, memakzulkan semua pertimbangan ketentuan serta hak-hak perorangan. Di ranah politik, seorang tak akan dilihat jadi satu pribadi dengan bermacam afiliasi. Tidak juga diliat jadi orang sebagai sisi dari beragam grup yang tidak sama. Tetapi, jadi sisi dari kolektivitas spesifik dengan lekatan jati diri spesifik juga. Terlebih, ditambah kondisi politik yang kompetitif. Semangat ‘bermusuhan’ antar-elite politik untuk berebut kekuasaan lebih terlihat riil. Dari sini pasti lahir sebagian system nilai yang mendisosiasikan seorang kedalam ‘kawan’ serta ‘lawan’, terkecuali budaya patronase (patron-client).
Berikut yang melandasi ramainya praktek politik antagonistik, brutal serta penuh dendam. Kemelut serta perseteruan politik berlangsung akibatnya karena kerancuan rencanatual mendasar saat mengerti jati diri manusia. Pengertian manusia jadi makhluk multidimensi dirubah jadi makhluk satu dimensi. Walau sebenarnya, bangunan jati diri manusia terjadi dari keadaan eksistensialnya, yaitu latar budaya, agama, suku, ras, bhs serta beda sebagainya yang bermacam, unik serta ciri khas. Tetapi, heterogenitas ini malah jadi satu diantara aspek penyebab kerawanan sosial, perseteruan serta kekerasan kolektif. Kekuataan kebhinekaan sebagai basis perjanjian untuk hidup dengan dalam satu institusi negara kesatuan tergerus oleh perseteruan horizontal. Kerancuan dalam menalar serta megejawantahkan inti kebhinekaan malah meneror rajutan kebersamaan serta kedamaian bangsa.
Kehadiran bangsa ini yaitu product dari kontrak sosial (social contract) yang disahkan berdasar pada prinsip kebhinekaan serta kesatuan. Keragaman jati diri manusia dengan seluruh cipta, karsa serta rasa yang tidak sama jadi manifestasi kebhinekaan yaitu kearifan horisontal insani. Karenanya, semua bentuk keragaman serta ketidaksamaan itu mesti memperoleh pernyataan jadi hak untuk dihormati serta dihargai dengan penuh ketulusan. Tiap-tiap individu di negeri ini mempunyai peluang yang sama untuk mewujudkan ide, langkah pandang, pilihan atau preferensi apa yang dipercaya dengan luas karna kesederajatan walau ada ketidaksamaan.
Tak ada demarkasi pada mayoritas-minoritas, superioritas-inferioritas atau dominasi-subordinasi. Pasalnya, kebhinekaan yaitu suatu hal yang esensial menjiwai demokrasi. Tanpa ada kebhinekaan, hubungan dalam system politik sepi dari partisipasi.
Demikian juga, praktek politik yang penuh ‘permusuhan’ mesti dirubah jadi lebih etik komunitarian yang mengutamakan kerja sama, penuh solidaritas serta sama-sama menghormati ketidaksamaan. Saat ini waktunya, seluruh elemen bangsa kembali menyemai kesetiaan serta persamaan gerak untuk merawat harapan kedamaian yang lebih substansial. Walau orang-orang di negeri ini terajut oleh manusia dari bermacam suku, ras, agama, budaya yang berlainan, tetapi beberapa cara penuh kedamaian jadi pilihan menawan untuk merampungkan masalah bangsa.
Di sinilah kedewasaan nalar pada kebhinekaan ke-Indonesiaan jadi modal paling utama. Demikian halnya hadirnya kepemimpinan yang efisien, miliki ciri-khas ketegasan serta kejelasan untuk mengadakan serta wujudkan kompromi kebhinekaan
Fakta itu seolah mengilhami tanda yang berada di orang-orang grass root tingkat bawah. Nyaris berbarengan, perseteruan kembali berlangsung di Desa Sidoreno, Waypanji, Lampung Selatan. Perseteruan yang awal mulanya dipicu oleh problem remeh itu singkatnya berkembang jadi kekerasan kolektif antar-etnis. Walau motif, basis serta latar belakang perseteruan pada elite di tingkat atas serta orang-orang tingkat bawah berlainan. Tetapi, tak tahu kenapa bangsa yang notabene di kenal ramah ini dapat saat itu juga demikian gampang tersulut api kemarahan, kebencian serta kegeraman yang menyebabkan perseteruan.
Di dalam ketegangan krisis, perjuangan bangsa ini malah terlihat dikelola dengan beberapa cara penuh emosional. Ego bidangal serta amarah diprioritaskan dari pada berfikir rasional dialogis. Datangnya info sering di terima dengan taken for granted serta jadi kebenaran mutlak ‘pembenar’ untuk aksi agresif tanpa ada memedulikan kebutuhan orang yang lain. Tingkah laku ini menghapus kebebasan berpikir serta kesempatan untuk menalar kalau bangsa ini dibuat atas basic kebhinekaan. Demikian halnya kultur menguasai untuk demokrasi yaitu menghormati keberagaman, kompromi, sikap moderat serta hak-hak individu (Almond serta Verba, 1963). Sesaat, perseteruan yang berlangsung juga akan memudarkan nilai serta makna kebhinekaan tersebut.
Perseteruan di tingkat elite ataupun akar rumput itu adalah kenyataan tidak terbantahkan begitu pelihara kebhinekaan lebih gampang disampaikan dari pada diwujudkan. Kebhinekaan jadi pilar paling utama bangsa memperoleh kendala serius. Kendala ini lahir dari tatanan orang-orang kita yang masuk kelompok centrifugal democracy. (Arend Lijphart, 1999) Satu keadaan dimana ranah politik begitu kompetitif dengan orang-orang yang terfragmentasi oleh bermacam gosip serta kebutuhan. Nyaris tak ada musuh dengan (common enemy) yang perlu dikawal dengan simultan oleh semua bangsa. Keadaan ini diakui atau tidak sudah menyuburkan tingkah laku individualis, egois, superior, hipokritis, tribalisme, chauvinis, ekstrimis serta dominatif.
Semuanya mewujud jadi sikap personal ataupun pilihan komunal yang membisukan nalar kebhinekaan, memakzulkan semua pertimbangan ketentuan serta hak-hak perorangan. Di ranah politik, seorang tak akan dilihat jadi satu pribadi dengan bermacam afiliasi. Tidak juga diliat jadi orang sebagai sisi dari beragam grup yang tidak sama. Tetapi, jadi sisi dari kolektivitas spesifik dengan lekatan jati diri spesifik juga. Terlebih, ditambah kondisi politik yang kompetitif. Semangat ‘bermusuhan’ antar-elite politik untuk berebut kekuasaan lebih terlihat riil. Dari sini pasti lahir sebagian system nilai yang mendisosiasikan seorang kedalam ‘kawan’ serta ‘lawan’, terkecuali budaya patronase (patron-client).
Berikut yang melandasi ramainya praktek politik antagonistik, brutal serta penuh dendam. Kemelut serta perseteruan politik berlangsung akibatnya karena kerancuan rencanatual mendasar saat mengerti jati diri manusia. Pengertian manusia jadi makhluk multidimensi dirubah jadi makhluk satu dimensi. Walau sebenarnya, bangunan jati diri manusia terjadi dari keadaan eksistensialnya, yaitu latar budaya, agama, suku, ras, bhs serta beda sebagainya yang bermacam, unik serta ciri khas. Tetapi, heterogenitas ini malah jadi satu diantara aspek penyebab kerawanan sosial, perseteruan serta kekerasan kolektif. Kekuataan kebhinekaan sebagai basis perjanjian untuk hidup dengan dalam satu institusi negara kesatuan tergerus oleh perseteruan horizontal. Kerancuan dalam menalar serta megejawantahkan inti kebhinekaan malah meneror rajutan kebersamaan serta kedamaian bangsa.
Kehadiran bangsa ini yaitu product dari kontrak sosial (social contract) yang disahkan berdasar pada prinsip kebhinekaan serta kesatuan. Keragaman jati diri manusia dengan seluruh cipta, karsa serta rasa yang tidak sama jadi manifestasi kebhinekaan yaitu kearifan horisontal insani. Karenanya, semua bentuk keragaman serta ketidaksamaan itu mesti memperoleh pernyataan jadi hak untuk dihormati serta dihargai dengan penuh ketulusan. Tiap-tiap individu di negeri ini mempunyai peluang yang sama untuk mewujudkan ide, langkah pandang, pilihan atau preferensi apa yang dipercaya dengan luas karna kesederajatan walau ada ketidaksamaan.
Tak ada demarkasi pada mayoritas-minoritas, superioritas-inferioritas atau dominasi-subordinasi. Pasalnya, kebhinekaan yaitu suatu hal yang esensial menjiwai demokrasi. Tanpa ada kebhinekaan, hubungan dalam system politik sepi dari partisipasi.
Demikian juga, praktek politik yang penuh ‘permusuhan’ mesti dirubah jadi lebih etik komunitarian yang mengutamakan kerja sama, penuh solidaritas serta sama-sama menghormati ketidaksamaan. Saat ini waktunya, seluruh elemen bangsa kembali menyemai kesetiaan serta persamaan gerak untuk merawat harapan kedamaian yang lebih substansial. Walau orang-orang di negeri ini terajut oleh manusia dari bermacam suku, ras, agama, budaya yang berlainan, tetapi beberapa cara penuh kedamaian jadi pilihan menawan untuk merampungkan masalah bangsa.
Di sinilah kedewasaan nalar pada kebhinekaan ke-Indonesiaan jadi modal paling utama. Demikian halnya hadirnya kepemimpinan yang efisien, miliki ciri-khas ketegasan serta kejelasan untuk mengadakan serta wujudkan kompromi kebhinekaan
0 komentar:
Posting Komentar