Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Praktisi Pendidikan)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei terkait metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan sistem online yang saat ini sedang diterapkan di tanah air. Sejumlah temuan versi KPAI dapat menjadi bahan informasi dan diskursus terkait realitas anak didik saat PJJ.
Survai dilakukan KPAI pada bulan April 2020 dengan total responden sebanyak 1.700 orang yang merupakan gabungan siswa mulai dari jenjang dasar sampai SMA/sederajat di 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota di Indonesia. KPAI bagus sekali sudah mengadakan survai sehingga ada bahan diskursus terkait realitas anak didik.
Berikut narasi dan informasi hasil survai KPAI. Sebanyak 42,2% tidak memiliki kuota internet. Sebanyak 52,8 % meminta internet gratis. Sebanyak 76,7 % tidak senang PJJ. Sebanyak 23,3 % senang PJJ. Sebanyak 79,9% PJJ tanpa interaksi Guru-Siswa. Sebanyak 20,1% ada interksi dalam PJJ. Sebanyak 95,4%) anak menggunakan HP dalam PJJ. Sebanyak 23,9% menggunakan laptop, dan 2,4% mengunakan computer PC.
Sebanyak 53,6% anak tidak memiliki wifi, dan 46,4% memiliki fasilitas wifi. Sebanyak 73,2 persen siswa merasa berat mengerjakan tugas dari guru. Sementara 26,8 persen mengaku tidak berat. Apa yang dinfokan KPAI ini adalah hasil survai internal yang dilakukan karena ada ratusan orangtua siswa yang mengadu ke KPAI terkait PJJ.
Selanjutnya tugas yang paling tidak disukai siswa antara lain, membuat video sebanyak 55,5 persen, menjawab soal dalam jumlah banyak 44,5 persen, merangkum bab materi 39,4 persen, dan harus menuliskan soal yang ada di dalam buku cetak sebanyak 25,6 persen. Sebanyak 77,8 % menjawab tugas menumpuk karena guru lain juga memberikan tugas.
Sebanyak 37,1 % menyatakan waktu belajar yang sempit. Sebanyak 81,8 % responden selama PJJ berjalan 4 minggu, para guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang yang menjelaskan materi, diskusi ataupun tanya jawab. Informasi ini menjadi bahan diskusi bagi semua pihak terkait.
Kehadiran wabah Covid-19 diluar dugaan dan membuat gagap warga dunia. Termasuk di dunia pendidikan. Namun terkait PJJ akan lebih sukses bila hal berikut tidak terjadi, yakni : 1) ketidakmerataan pembangunan, 2) kesenjangan ekonomi, 3) keterbatasan SDM guru, 4) ketersediaan infrastruktur pembelajaran, 5) keterbatasan infrastruktur jaringan, 6) keberagaman kondisi lingkungan, 7) kesulitan askes pendidikan berkualitas, dan 8) keterjangkauan biaya pendidikan.
Kalau hanya untuk menerima keluhan dan “menghakimi” para guru memang mudah. Hasil survai KPAI memang dapat menjadi sebuah bahan kajian bersama dan masukan pada pihak terkait. Faktanya semua lembaga punya versi dan tentu dapat menjadi bahan kajian bersama. Sebagai pengurus organisasi profesi guru dalam PGRI, kami pun punya versi. Kami punya jejaring sampai ke tingkat ranting (sekolahan) dan jaringan yang setiap saat bisa menampung informasi dengan cepat dan faktual.
Terkait guru disebutkan 79,9% dalam PJJ tanpa interaksi dengan siswa. Memang para guru tidak lebay melakukan komunikasi secara dominan terhadap anak didik dalam PJJ. Mengapa? Karena memang para guru sengaja mengurangi porsi komunikasi agar anak didik dan kedua orangtua ada sinergi yang lebih aktif. Intensitas komunikasi diberikan sepenuhnya pada orangtuanya. Ini sengaja!
Ibarat saat anak didik bersama gurunya di sekolah malah hampir tidak ada komunikasi antar anak dengan orangtuanya. Orangtua memberikan Intensitas komunikasi sepenuhnya pada guru. Saat PJJ kondisinya dibalik, orangtua yang lebih dekat. Guru merenggang namun memantau. Guru saat PJJ malah memantau dengan dua jalur komunikasi. Pertama komunikasi dengan anak didik langsung dan kedua dengan orangtua. Para guru punya jejaring WAG sebagai saluran mengontrol.
Guru faktanya melakukan komunikasi empat jalur, tidak banyak orang yang tahu bahkan KPAI dan KemenPPPA sendiri. Sebenarnya guru sudah melakukan komunikasi pada empat jalur komunikasi. Komunikasi itu adalah :1) kepada anak peserta PJJ, 2) kepada teman anak (pacar atau teman akrab) khusus bagi anak yang bermasalah atau ABK, 3) kepada orangtuanya dan 4) komunikasi transenden kepada Tuhan, mendoakan setiap anak.
Sebanyak 81,8 % guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang yang menjelaskan materi, diskusi ataupun tanya jawab. Ini sebuah “modus” dari guru agar anak mandiri, mencari tahu dan mengajak kolaborasi dengan kedua orangtuanya. Plus komunikasi dengan rekan sebayanya. Bila guru dominan diskusi dan tanyaj jawab maka sama saja dengan saat di sekolah yakni klasikal. Ini tidak efektif. PJJ lebih menekankan personal learning.
Sebanyak 77,8 % menjawab tugas menumpuk. Setiap guru memang memberi tugas agar anak mengerjakan. Tugas utama anak didik sebetulnya tidak murni menyelesaikan pelajaran dan tugas akademik. Namun hal yang utama yang diinginkan para guru adalah agar setiap anak dipastikan ada yang dikerjakan dan tidak ke luar rumah. Lebih berisiko bila anak tanpa tugas dari gurunya, Ia bisa boring atau malah keluyuran.
Sebanyak 76,7 % tidak senang PJJ Hasil survai KPAI ini berbeda dengan hasil survai KemenPPPA yang mengatakan bahwa anak 58 % tidak senang PJJ. KemenPPPA melakukan survai di 29 provinsi dengan responden 717 anak. Jangan-jangan nanti ada Lembaga survai lain dan kemudian berbeda lagi. Artinya sangat mungkin terjadi keragaman kesimpulan terkait kepuasan anak dalam PJJ. Keberbedaan dan keragaman hasil survai adalah bahan diskusi.
Anak didik senang atau tidak dengan PJJ itu prioritas no tiga. Anak didik harus ada di rumah dengan “jeratan” tugas, namun tentu tidak memberatkan dan membuat stres. Kesehatan anak adalah utama. Kedua anak tidak keluyuran, belajar no 3. Menumpuknya tugas disisi lain agar Si Anak tidak merasa diliburkan dan hak belajarnya diberikan. Anak akan merasa dimanusiawikan dengan adanya tugas dari gurunya. Bisa dibayangan bila anak libur murni tanpa tugas. Ia akan merasa dibuang dan dianggap tak mampu belajar PJJ.
PJJ seberanya tidak terlalu menekankan pelajaran melainkan pada pendidikan. PJJ menghendaki setiap anak didik beradaptasi dengan suasana wabah Covid-19. Sehat anak didik adalah utama. Tugas mata pelajaran pun banyak yang kontekstual. Bahkan anak secara mudah dapat mendengarkan siaran televisi mendengarkan! penceramah dan mencatatnya sekemampuannya. Mereka pun saat PJJ diharapakan paham terkat pandemi corona.
Anak dengan PJJ dikenalkan pada sebuah realitas darurat, realitas wabah, realitas social distancing, realitas tanpa sekolah, realitas tanpa bertemu teman di darat, realitas tanpa bertemu guru, realitas tanpa bertemu masyarakat, realitas pentingnya memahami bahwa hidup itu kadang unprediktable. Anak dipaksa memahami satu mata pelajaran “alami” yakni Mata Pelajaran Covid-19 yang menyerang dunia.
Saat semua guru, semua orangtua dan para pejabat di negeri ini sudah tiada. Anak-anak didik kitalah yang akan menjadi saksi bagaimana ganasnya Covid-19. Ia akan menjadi “sejarawan” dan ahli yang mampu menjelaskan langsung bagaimana sesungguhnya wabah Covid-19 menyerang kehidupan manusia. Jadi bukan mata pelajaran “mainstream” yang utama saat wabah Covdi-19 melainkan wawasan kebencanaan non alam.
Guru adalah pendidik yang punya tugas mendidik, bukan hanya mengajar. Saat wabah Covid-19 guru memberi tugas pada anak didik bagaikan tugas PPL atau KKN pada para mahasiswa dengan PJJ. Substansi PPJ bukan terletak pada prioritas akademik karena keadaan darurat bencana non alam. Apa targetnya? Seperti yang diatas dituliskan yakni : 1) kesehatan anak, 2) anak tidak keluyuran, 3) anak tetap bisa belajar, 4) quality time bersama orangtua, 5) kemandirian dan uji karakter.
Sangat "ganteng' pernyataan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Ia menyatakan, "Kita semua harus belajar pada anak sekolah dalam kedisiplinan disaat wabah Covid-19. Mereka disiplin diam di rumah". Ini jasa siapa anak sekolah diam di rumah? Tentu jasa gurunya yang "menekan" mereka dengan berbagai "modus" agar tidak keluyuran. Sukses melawan Covid-19 diantaranya karena kehidupan sosial sepi tanpa jutaan anak didik.
Maaf setidaknya ada dua entitas paling istimewa di dunia ini. Semua harus memuliakannya, jangan coba-coba merendahkannya. Pertama generasi paling berharga yakni anak didik. Ia pewaris bangsa dan wajah masa depan kita semua. Kehormatan kita semua ada diperforma mereka pada masa depan. Mereka adalah kita!
Kedua profesi paling berjasa yakni guru. Presiden, menteri, jenderal, dokter, pengusaha, politisi, kesemuanya lahir melintasi tangan dingin para guru.